Balai Islam KUAZ

zwani.com myspace graphic comments
Myspace Islam Graphics
Salam Alaik to all visitors of this blog. May the contents of this blog benefit you. Insya Allah. Any enquiries or suggestions please send it to: balaiislamkuaz@ymail.com


Hari ini adalah milikku

Waktu Solat


Dapatkan Mesej Bergambar di Sini


Al-waqt

Digital Clocks & MySpace Layouts



Keluarga Balai Islam KUAZ

Dalam proses pengemaskinian


zwani.com myspace graphic comments
Islam Graphic Comments



Mutiara Ilmuan

Take time to THINK. It is the source of power

Take time to READ. It is the foundation of wisdom

Take time to QUIET. It is the apportunity to seek God

Take time to DREAM. It is the future made of

Take time to PRAY. It is the greatest power on earth
Pimp My Profile


~Munaqasyah~




zwani.com myspace graphic comments
Myspace Islam Graphics



~Allah in my heart~






~Tetamu~

free counter


~Munajatku~




archives

September 2008
October 2008
November 2008
December 2008
January 2009
February 2009
March 2009
April 2009
May 2009
June 2009
July 2009
August 2009
September 2009
December 2009
January 2010
February 2010
March 2010
July 2010



~Layar~

iluvislam
Grapesnasyid
IslamOnline
MuslimDiary
SaifulIslam



~Balai Islam UM~

Balai Islam KK1
Balai Islam KK3
Balai Islam KK4
Balai Islam KK7
Balai Islam KK12








Dapatkan Mesej Bergambar di Sini

Dapatkan Mesej Bergambar di Sini



credits

. . .
skin by: Jane
Tuesday, July 13, 2010 @ 3:03 AM
Penuntut ilmu tidak boleh futur

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH FUTUR

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:


1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.

2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.

3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.


Di antara sebab-sebab itu adalah.


1). Hilangnya keikhlasan.

2). Lemahnya ilmu syar’i.

3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.

4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.

5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.

6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.

7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.

8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).

9). Lemahnya iman.

10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).

11). Lemahnya pendidikan. [2]


Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.


Di antara obat penyakit futur adalah.

1). Memperbaharui keimanan.Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.

2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.

3). Ikhlas dan takwa.

4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).

5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.

6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.

7). Mencari teman yang baik (shalih).

8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

9). Sabar dan belajar untuk sabar.

10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah.[3]


PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN


Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat?


Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?


Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok).


Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.


Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]


Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i.

Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.


[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]

____________________________


Foote Notes

[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).

[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).

[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279

Labels:




@ 2:55 AM
Adab Terhadap Buku

Adab Terhadap Buku
Oleh: 'Abdul-'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada


1. Niat yang Ikhlas

Seorang Muslim wajib mengikhlaskan niatnya ketika ia membeli sebuah buku, sehingga memudahkan dirinya dalam membahas permasalahan agama dan ilmu yang bermanfaat lainnya(,) agar dapat bermanfaat untuknya dan untuk orang lain.

2. Memiliki Buku Bukan untuk Kebanggaan dan Pamer

Hendaknya ia bermaksud membaca dan mengambil manfaat darinya, sehingga keinginan untuk memiliki buku (tersebut) semata-mata (adalah) untuk mendulang faedah dari buku tersebut atau untuk menyebarkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat, seraya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikianlah niat yang benar dalam memiliki buku-buku.

3. Mulai dengan Membeli Buku-buku yang Terpenting

Hendaknya membeli buku yang bermanfaat untuk dirinya, baik untuk sebuah penelitian, sebagai bahan bacaan, maupun yang lainnya. Adapu buku-buku yang tidak dibutuhkan maka tidak perlu dibeli atau dimiliki sebab tidak dapat memberikan faedah baginya. Terkecuali jika ia membeli buku tersebut untuk diberikan kepada orang lain (yang mana buku tersebut insyaa Allaah akan bermanfaat baginya) atau untuk orang yang dapat memanfaatkannya dan membutuhkannya.

4. Tidak Boleh Memiliki Buku-buku yang Diharamkan

Hendaknya tidak menyimpan atau membeli buku-buku yang diharamkan atau yang memudharatkan dirinya, seperti buku porno, buku yang membahayakan 'aqidah dan moral, dan buku-buku yang tidak berguna lainnya. Sebab, Allah Ta'ala akan menghisab dirinya tentang kepemilikan dan perhatiannya terhadap buku-buku tersebut, serta harta yang telah ia habiskan untuk membeli buku-buku itu.

5. Memiliki dan Merawat Buku

Seseorang yang memiliki buku harus memberikan perhatiannya, menjaga dan merawat buku-buku tersebut agar terawat dan tetap awet selama mungkin. Sebab, buku adalah permisalan sebuah ilmu dan ilmu merupakan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki oleh seseorang. Buku juga merupakan harta yang wajib dijaga dan tidak boleh ditelantarkan.

Ada beberapa cara merawat buku:


Meletakkan buku di tempat yang jauh dari jangkauan tangan anak-anak.

Caranya, dengan meletakkan buku di rak atau di lemari tertutup sehingga aman dari jangkauan anak-anak. Tujuannya agar buku-buku tersebut tidak koyak atau rusak akibat jamahan tangan anak-anak dan tidak terjatuh dari raknya, serta untuk menjaga buku agar tidak berdebu dan menjaganya dari hal lain yang dapat merusaknya.


Meletakkan buku di tempat yang memiliki ventilasi yang cukup.

Caranya, dengan meletakkan buku di rak atau lemari yang berventilasi cukup. Dapat juga pemilik perpustakaan membuka jendela yang mengelilingi buku secara rutin, meletakkan kipas angin, dan cara lainnya. Hal ini dilakukan karena buku yang lama tersimpan akan cepat rusak dan lapuk.


Menggunakan obat-obatan untuk mencegah serangga pemakan kertas, seperti semut, rayap, dan serangga lainnya.Oleh karena itu, hendaknya pemilik buku secara rutin menyemprotkan obat anti serangga pemakan kertas sebagai langkah perawatan terhadap buku.

6. Menyusun dan Membuat Daftar Pustaka

Bagi yang memiliki kitab atau buku yang cukup banyak, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki buku yang sangat banyak, dianjurkan agar menyusunnya menurut isi buku. Tujuannya supaya seseorang mudah mendapatkan buku tersebut ketika dibutuhkan dan untuk mencari serta mengeluarkan permasalahan yang terkandung di dalam buku tersebut. Demikian juga akan memudahkan seseorang dalam mencari buku tertentu ketika ia membutuhkannya.

7. Meminjamkan Buku kepada yang Membutuhkan

Meminjamkan buku merupakan adab yang seharusnya dimiliki seorang Muslim. Sebab, seorang Muslim tidak pantas menghalangi faedah yang bermanfaat bagi saudaranya. Tidak meminjamkan buku kepada orang yang membutuhkannya termasuk sikap menyembunyikan ilmu yang diharamkan Allah Ta'ala.Adapun meminjamkannya berarti ikut andil dalam menyebarkan ilmu sehingga ia juga termasuk orang yang telah memberikan manfaat kepada saudaranya sesama Muslim yang telah diperintahkan oleh syari'at.

8. Merawat Buku yang Dipinjam

Apabila seorang Muslim terpaksa harus meminjam sebuah buku kepada seseorang untuk mendapatkan faedahnya, maka ia harus menjaga dan merawat buku tersebut serta mengembalikannya dalam kondisi seperti ketika meminjamnya. Yang demikian itu dilakukan guna menunaikan sebuah amanah.

9. Mewakafkan Buku Setelah Pemiliknya Meninggal Dunia

Apabila seseorang tidak memiliki ahli waris atau ahli warisnya tidak begitu peduli dan perhatian dengan buku, maka sebaiknya ia berwasiat untuk mewakafkan buku-buku yang ia miliki agar dapat bermanfaat bagi para penuntut ilmu, para peneliti, dan mereka yang memiliki perhatian kepada ilmu. Maksudnya, supaya buku-buku tersebut menjadi sedekah jariyah-nya setelah meninggal.

Sumber: Buku Ensiklopedi Adab Islam, Jilid 2. Karya 'Abdul-'Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada. Bab Adab al-Kitaab (Terhadap Buku) hal. 327.

Labels:




Tuesday, September 22, 2009 @ 6:46 PM
Raya sebenar Raya

RAYA SEBENAR RAYA



Sempena hari raya ini, marilah sama-sama kita merenung sebuah hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, berkaitan dengan konsep 'hari raya' yang lebih luas. Menurutnya, Nabi Muhammad saw. bersabda hari raya yang sebenarnya bagi orang beriman itu ada pada 5 keadaan:



1. Setiap hari ia berjalan dan bertemu seorang yang beriman serta ia tidak melakukan sebarang dosa, itu ialah hari raya baginya.



2. Hari keluarnya dari dunia dengan penuh keimanan dari tipu daya syaitan



3. Hari menyeberang Siratul Mustakim dan terselamat dari bencana jatuh ke dalam api neraka



4. Hari kita masuk syurga dengan selamat dan terlepas dari api neraka



5. Hari ia menatap wajah Allah Ta'ala



Menurut Nabi Muhammad saw. Hari Raya bagi setiap orang beriman ada pada 5 ketika;


iaitu setiap hari yang dia tidak melakukan sebarang dosa, saat meninggal dunia dalam husnul-khatimah, hari berjaya melintasi Siratul-Mustakim dan terselamat dari masuk ke neraka, masuk ke dalam syurga dan hari dia mengadap Allah Taala.



Sekiranya kita tidak melakukan sebarang dosa pada sesuatu hari, itu adalah hari raya bagi kita. Kalaulah kita berusaha sungguh-sungguh menghindarkan diri melakukan sebarang dosa dengan menjauhi larangan Allah serta mematuhi segala perintah Allah, hari itu adalah sebenarnya hari yang harus dirayakan.



Saat menghembuskan nafas terakhir dengan penuh keimanan dari tipu daya syaitan juga termasuk dalam 'hari raya' yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw. Saat sakratul-maut adalah masa yang paling genting bagi setiap individu. Kesakitannya yang amat sangat bukan saja menimpa jasad bahkan rohnya juga; seperti yang digambarkan oleh ulama kesakitannya lebih dahsyat daripada dipalu dengan 1000 pedang, atau digunting dengan beberapa gunting atau digergaji dengan beberapa gergaji. Malahan dikatakan saat sakrat adalah hari kiamat bagi si-mati.


Menurut Imam Ghazali kesusahan mati itu 3, pertama kesakitan sakrat, kedua kesusahan melihat kedatangan malaikatul-maut dengan mukanya yang amat bengis dan ketiga kesusahan jika dinampakkan tempat kediaman di neraka (jika ahli maksiat). Sudahlah tidak tertahan dengan kedahsyatan yang amat sangat, syaitan pula sibuk menangguk di air keruh. Di saat inilah dia menjalankan taktik dan strategi terakhir untuk menumpaskan kita. Hanya orang yang Allah tetapkan mati dalam husnul khatimah saja terlepas dari tipu dayanya. Berjayanya kita di saat ini barulah kita dapat menikmati hari raya sebenarnya. Namun alam perkuburan merupakan alam yang penuh dengan peristiwa-peristiwa dahsyat. Bagi orang mukmin, ia merupakan satu taman dari taman-taman syurga, sebaliknya bagi orang kafir, alam barzakh adalah satu pintu dari pintu neraka.



Hari Raya seterusnya adalah hari kita berjaya melepasi api neraka selepas merentas Titian Siratul Mustaqim. Sebelum menyeberang jambatan yang direntang di atas kawah neraka, setiap individu disoal dan ditimbang amalan baik dan jahatnya. Selesai dari segala perhitungan tersebut barulah diperintah meniti Titian yang sangat tajam dan sangat halus ini. Orang yang mengikut jalan lurus semasa di dunia selamat menyeberang dengan kelajuan yang pantas. Malangnya mereka yang menyeleweng dari jalan lurus di dunia gagal dan jatuh ke dalam api neraka. Bayangkan betapa dahsyat dan ngerinya berada di jambatan yang di bawahnya terdapat lautan api yang sentiasa mengait sesiapa saja yang berdosa. Andainya terlepas dari tercebur ke neraka, barulah boleh kita berhari raya.



Hari kita masuk syurga adalah hari raya seterusnya bagi orang beriman. Terlepasnya dari neraka bermakna kita akan dimasukkan ke dalam syurga yang penuh dengan kenikmatan dan kelazatan. Syurga adalah tempat manusia pilihan. Penghuni-penguni syurga dengan muka yang berseri-seri diberikan kerajaan yang sangat luas dengan mahligai yang besar serta menikmati pelbagai juadah yang lazat-lazat. Pendeknya mereka beroleh segala kelazatan dan terhindar dari segala seksa. Inilah sebenarnya hari raya bagi orang mukmin.



Hari raya yang paling meggembirakan orang beriman ialah di saat memandang wajah Agung Ilahi. Inilah kenikmatan yang paling agung dan lazat sehingga terlupa kelazatan dan kenikmatan syurga. Ia merupakan puncak atau klimaks kenikmatan orang beriman.
Memandangkan kita belum pun menempuh saat-saat di atas, sepatutnya kita berasa cemas dan berwaspada. Dalam masa kita bersuka ria menyambut hariraya ini, lintaskanlah di hati sanubari kita bahawa hari raya sebenarnya belum kita tempuhi lagi. Amat jauh terpesongnya budaya kita yang menyambut hariraya dengan maksiat seperti hiburan, nyanyian, tarian dan pelbagai kegilaan yang melupakan kita akan hari raya sebenarnya. Hari Raya Idilfitri hanya satu gambaran atau tamsilan bagi kita merenung bahawa Allah akan membalas dengan ganjaran baik jika berjaya melepasi rintangan hawa nafsu dan mengendalikan hidup mengikut cara yang Allah redhai.



Mudah-mudahan hariraya yang kita hadapi ini tidak berakhir di sini saja, sama-samalah kita berdoa semoga ia berterusan sehinggalah kita berjaya melepasi sakratul-maut, titian siratul-mustaqim, menjadi penghuni syurga dan akhirnya mengadap zat Allah Taala di syurga kelak. Amin..


Dipetik daripada: http://www.geocities.com/Athens/Parthenon/5352/raya.htm

Labels:




Monday, June 15, 2009 @ 5:02 PM
Mimpi seorang gadis

MIMPI SEORANG GADIS

Untuk Renungan Bersama..... .

Bismillahirrahm anirrahim

Rakaman ini dipetik dari program Motivasi Pagi -TV 3 (6.30pagi)

oleh

Ustazah Noorbayah Mahmood




Seorang gadis datang menemui Rasulullah dengan tangan kanannya disorokkan ke dalam poket bajunya. Dari raut wajahnya, anak gadis ini sedang menanggung kesakitan yangamat sangat.


Lalu Rasulullah menegurnya.'Wahai anakku, kenapa wajahmu menampakkan kamu sedangkesakitan dan apa yang kamu sorokkan di tanganmu?'Lalu gadis malang ini pun menceritakan hal yang berlakupadanya :- 'Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku adalah anak yatim piatu. Malam tadi aku telah bermimpi dan mimpikuitu telah membuatkan aku menanggung kesakitan ini.'Balas gadis tadi.'Jika tidak jadi keberatan, ceritakanlah mimpimu ituwahai anakku.'Rasulullah mula tertarik dengan penjelasan gadistersebut.'Aku bermimpi berjumpa ibuku di dalam neraka.Keadaannya amat menyedihkan.


Ibuku meminta diberikan airkerana dia amat dahaga kerana kepanasan api neraka itu hingga peluh tidak sempat keluar kerana kekeringan sekelipmata.' Gadis itu berhenti seketika menahan sebak. 'Kemudian ku lihat di tangan kirinya ada seketul kejudan di tangan kanannya ada sehelai tuala kecil. Beliaumengibas-ngibaskan kedua-dua benda tersebut untuk menghalangapi dari membakar tubuhnya. Lantas aku bertanya ibuku,kenapa dia menerima balasan sebegitu rupa sedangkan ketika hidupnya ibuku adalah seorang hamba yang patuh dengan ajaranislam dan isteri yang taat kepada suaminya?Lalu ibuku memberitahu bahawa ketika hidupnya dia amatbakhil. Hanya dua benda itu sahaja iaitu seketul keju dansehelai tuala kecil pernah disedekahkan.


Lalu aku terus mencari ayahku. Rupanya beliau berada disyurga dan sedang menjamu penghuni syurga dengan makananyang lazat dan minuman dari telaga nabi.Ayahku memang amat terkenal kerana sikapnya yang dermawandan kuat beramal. Lalu aku bertanya kepada ayahku.'Wahai ayah, ibu sedang kehausan dan menanggung azab dineraka. Tidakkah ayah ingin membantu ibu sedangkan di duniaku lihat ibu amat mentaatimu dan menurut perintah agama'Lalu dijawab oleh ayahnya.


'Sesungguhnya beliau dan semua penghuni syurga telah dilarang oleh Allah dari memberiwalau setitik air kepada isterinya kerana itu adalah pembalasan untuk kebakhilan yang dilakukan ketika di dunia'Oleh kerana kasihan melihat azab yang diterima oleh ibuku,aku lantas menceduk sedikit air mengguna tapak tanganananku lalu dibawa ke neraka.Belum sempat air tersebut mencecah bibir ibuku, api nerakatelah menyambar tanganku sehingga melecur.Seketika itu juga aku tersedar dan mendapati tapak tangankumelecur teruk.


Itulah sebabnya aku datang berjumpa engkau yaRasulullah.' Panjang lebar gadis itu bercerita sambil airmatanya tidakhenti-henti mengalir di pipi.Rasulullah kemudian meletakkan tongkatnya ke tapak tangangadis tersebut lalu menadah tangan, berdoa memohon petunjukdari Allah. Jika sekiranya mimpi gadis tersebut adalah benarmaka disembuhkanlah agar menjadi iktibar kepada beliau dansemua umat Islam.Lalu berkat kebesaranNya tangan gadis tersebut sembuh.


Rasulullah lantas berkata, 'Wahai anakku, pulanglah...Banyakkan bersedekah dan berzikir dan pahalanya kau berikankepada ibumu. Mudah-mudahan segala dosanya terampun.
INSYALLAH''

WAR-WARKANLAH KPD SELURUH UMAT MUHAMMAD UNTUK SECEBIS PEDOMAN AGAR TIDAK MENGAMAL SIKAP KEBAKHILAN TERHADAP SESAMAMANUSIA..... ......SEBARKANLAH.........

Labels:




Saturday, May 23, 2009 @ 1:47 PM


Bismillahir rahmanir rahim

Sebagai umat Islam, kita telah diberi taklif untuk menyebarkan syariah Islam kepada seluruh umat manusia. Berdakwah kepada yang tidak tahu, dan mengislah golongan yang sudah mengetahui. Pendekatan dakwah dan islah pastinya berbeza.

Mari kita ambil pengajaran dari kisah berikut:

Seorang pemuda yang bernama Syaikh Nuruddin sedang pergi memancing bersama rakan-rakannya serta gurunya, Syaikh Idris. Rakan-rakan pemuda itu meluahkan rasa kurang senang dengan perbuatan Syaikh Nuruddin yang dilihat selalu bersama-sama pemuda-pemuda kampung yang tidak solat kepada guru mereka.

Jika aku hanya bergaul dengan rakan seperguruanku sahaja, apa manfaatnya aku bagi masyarakat. Umpama pohon yang membusukkan buahnya kerana tidak dipetik oleh orang yang memerlukannya, kata Syaikh Nuruddin.

Bukankah kita telah memberi manfaat kepada masyarakat luas dengan memberikan ceramah? Rakannya bertanya. Syaikh Nuruddin bersetuju namun tidak semua tanaman yang disiram akan tumbuh subur. Kerana kesuburan tanaman juga bergantung pada kualiti tanah.

Rakan-rakannya tersinggung. Mereka pasti mendapat manfaat dari ceramah kita, wahai Syaikh Nuruddin, rakan-rakannya berkata.

Tiba-tiba Syaikh Nuruddin menarik pancingnya. Ia berasa kurang bertuah kerana umpannya masih belum terkena. Lantaran itu ia terus meletakkan pisang sebagai umpan.

Rakan-rakan yang melihat perbuatan Syaikh Nuruddin itu pun tertawa akan kebodohannya. Masakan ikan memakan pisang, rakan-rakannya berkata. Bukan salahku. Pisang yang lazat pun tidak mahu dimakan, kata Syaikh Nuruddin. Kalau mahu memancing monyet, barulah betul umpannya, jawab rakan-rakannya. Tidak semua binatang menyukai pisang.

Oh, jadi tidak semua binatang menyukai pisang, Syaikh Nuruddin bertanya. Iyalah, jawab rakan-rakannya.

Lalu Syaikh Nuruddin bertanya, adakah semua manusia sukakan ceramah?

******

Syaikh Nuruddin telah memberikan analogi mudah untuk kita kaitkan dalam masalah dakwah dan islah. Kadang-kala, kita terlalu mengikut pendirian kita, dan melihat pada kebolehan kita sehingga kita lupa siapa mad'u kita sebenarnya.

Kemampuan kita menyampaikan ilmu tidak semestinya bertepatan dengan kemampuan mad'u kita untuk menerimanya. Sebahagian golongan yang mahu, tahu dan mampu pasti gemar mendengar ceramah, melakukan usrah dan sebagainya.

Namun, di kalangan masyarakat, pasti ada golongan yang masih ragu-ragu ataupun segan untuk berjamaah dalam kelompok yang sudah tahu, ataupun ada golongan yang masih jahil tentang ajaran Islam. Oleh itu, ceramah dan usrah bukanlah suatu pendekatan yang efektif yang dapat membuahkan hasil yang diinginkan.

Metod dan pendekatan dakwah itu luas. Sebagai da'i, kita tidak boleh menyempitkan pemikiran kita bahawa dakwah itu hanyalah dengan memberikan ceramah sebanyak mungkin.

Kaitkan Islam sebagai cara hidup dalam pendekatan kita. Mulakan dengan yang mudah yang boleh diterapkan dalam kehidupan seharian mereka. Contohnya kebersihan. Moga-moga dengan menggunakan metod ini, makin ramai yang akan tertarik untuk mengenali Islam dengan lebih mendalam. Ketika itu, apabila hati sudah mahu, akal sudah tahu dan mampu, maka mudah bagi da'i menyampaikan nasihat dalam bentuk ceramah.

Seperti kata-kata seorang ulama masa kini, "Seek first to understand than to be understood". Semoga Allah s.w.t memberi setiap yang bergelar da'i kekuatan dalam menempuh cabaran dalam berdakwah. Semoga kita mendapat hikmah atas segala kejadian di dunia ini. InsyaAllah... Amiin.

Wallahu 'alam

Labels: ,




Wednesday, May 20, 2009 @ 1:13 AM



Ikhlas dalam beribadah kepada Allah
Berikut ialah Syarah Ustaz Abu Fathi Yazid bin Abdul Qadir Jawas kepada kitab Ar-Rasail dan ditokok tambah sedikit mutiara kata dari kitab Al-hikam Imam ibn ‘Athaillah As-Sakandari serta sedikit untaian kata-kata penulis. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih perinci mengenai ikhlas ini taipkan ‘ikhlas dalam beribadah kepada Allah’ di YOUTUBE.

Ikhlas


“Amal itu beragam, lantaran beragamnya keadaan yang menyelinap ke dalamhati (jiwa). Amal itu merupakan kerangka yan tetap (mati, tidak bergerak), dan ruhnya ialah keikhlasan yang ada (melekat) padanya.”- Ibn ’Atahillah

Yang dimaksudkan oleh syaikh Ibn ’Athaillah di sini, keikhlasan seseorang dalam beramal adalah semata-mata ditujukan kepada Allah sebagai zat yang memliki sang hamba. Dan meman dalam hal ini dikenal dengan berbagai tingkatan, sesuai dengan taufiq yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada sang hamba.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ada manusia yang sikit amalannya tapi kerana ikhlasnya, amal itu menjadi besar di sisi Allah...

Ada manusia yang banyak amalnya tapi kerana tiada keikhlasannya, amal itu menjadi kecil disisi Allah...

Amal ibadah dan perbuatan haruslah dilakukan kerana Allah semata-mata...

Apabila dilebihkan tujuan lain, maka itu hanya mengurangkan keilkhlasan...

Allah harus dijadikan tumpuan utama ditujukan ibadah...

Amallah bukan kerana menginginkan kepentingan dunia...

Berhati-hatilah dengan niat...

Kerana amal berserta niat riya’ dan berkepentingan duniawi ibarat debu bertebangan..

Sia-sia sahaja amalmu malam dan pagi ..

Tanpa disertai keikhlasan di hati

Menuju Ilahi Rabbi...

Mungkin puji dan sanjung kau dapati di dunia ini..

Namun di sisi Ilahi engkau dipandang keji...

Apa erti hidup begini..

Amal bersalut riya’ sepanjang hari...

Sia-sia hidupmu, tiada erti..

Dunia sementara, yang kau kejari...

Malulah dengan diri sendiri...

Mohon taubatlah kepada Ilahi...



Agar ikhlas dalam setiap amal

1.doa... Ya Allah berikanlah karunia agar kami tetap ikhlas untuk beribadah kepadaMu

2.menyembunyikan amal yang telah dilakukan dari pengetahuan manusia lain.

3.memerhatikan amal mereka yang lebih baik.nabi, ulama,sahabat ... Al-An’am: 10

4.memandang remeh apa yang telah diamalkan, jangan merasa besar apa yang telah dilakukan

5.merasa khuatir kalau amalan tidak diterima. Al-mukminun: 59-61
Jangan berasa puas setelah melakukan amal dan merasa sangat yakin bahawa amalan tersebut diterima. Mohonlah pada Allah agar menerima amalan kita

6. tidak terpengaruh dengan ucapan orang baik yang memuji atau mencela tetap terus melakukan amal

7.percaya bahawa balasan syurga dan neraka hanya akan ditentukan oleh Allah. Jangan mengharapkan sesuatu dari manusia. Beramal semata-mata kerana Allah. Dan doalah diberikan syurga


8.Akan berada dalam kubur sendirian. Bersungguh-sungguh dalam persiapan bertemu Allah. Kerana orang yang siap untuk bertemu Allah akan terputus hatinya dari dunia dan seluruh isinya

9. menuntut ilmu-ilmu syari, ilmu yang bermanfaat

10.berteman dengan orang-orang yang saleh

11-mempelajari perjalanan hidup orang-orang yang ikhlas

12- bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu

13-berdoa:” Ya Allah sesungguhnya kamiberlindung kepadaMu agar kami tidak menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami mohon ampundari sesuatu yang kami tidak mengetahuinya.


Sukarnya untuk ikhlas
Harus ada mujahadah
Antara takut dan harap

Setiap pagi Nabi Muhammad s.a.w akan berdoa dikurniakan ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, dan amalan yang diterima.


Riya’

Sebab-sebab riya’:

1.senang menikmati pujian dan sanjungan
2.takut dicela manusia
3.tamak, sangat menginginkan apa yang ada pada orang lain.

Ciri-ciri dan tanda riya’:

1.menjadi pemalas apabila sendirian
2. menjadi rajin apabila di khalayak ramai, merasa senang apabila orang melihatnya. Berusaha untuk menampakkan amalannya.
3.bertambah rajin apabila dipuji dan berkurang apabila dihina

Sekiranya seseorang manusia itu meninggalkan sesuatu amalan yang sering dilakukannya sewaktu sendirian kerana khuatir apabila amalan yang sama tersebut dilakukan di tengah ramai atau diketahui orang lain, maka itu juga adalah riya’

Seseorang itu solat dan memperindahkan solatnya kerana dipandang manusia. Ini juga riya’

Riya merbahaya:

1.Amal seseorang yang riya’ akan terhapus

2.Akan mendapat kehinaan dan kecelaan oleh Allah. Kerana barangsiapa yang memperdengarkan kebaikan kepada orang maka nanti di akhirat Allah akan memperdengarkan keaibannya .

3.Dalam mengamalkan sunnah nabi maka ikhlaslah dan jauhi riya’

4.Menambah kesesatan seseorang

5.Umat akan mundur dan kalah. Kerana manusia melakukan sesuatu dengan tujuan peribadi. Bukan untuk membela islam.





Tidak termasuk riya’:


seseorang melakukan amal kemudian dipuji manusia. Dengan syarat dirinya tidak ujub.
giatnya seseorang hamba dalam berbuat kebaikan ketika ada orang yang melihatnya, dan ketika menemani orang-orang yang ikhlas dan orang salih.
menyembunyikan dosa
mengenakan pakaian yang indah dan bagus
menampakkan syiar agama islam. Eg. Bersolatlt jemaah, memelihara janggut,

ubat penyakit riya’:

1. mengetahui macam-macam tauhid, rububiyah, uluhiyah, asma’ wal sifat
2.mengetahui apa yang disediakan Allah di akhirat iaitu nikmat dan azab.
3.sentiasa takut untuk riya’
4.menjauhkan diri dari celaan dan murka Allah.
5.memahami kedudukan kita sebagai hamba Allah. Beramal semata-mata kerana Allah
6. mengetahui hal-hal yang dapat menjauhkan syaitan yakni dengan berzikir, membaca surah al-falaq, an-nas, al-ikhlas
7. menyembunyikan amal
8. tidak peduli dengan celaan atau pujian manusia.
9. berdoa. Ya Allah sesungguhnya kamiberlindung kepadaMu agar kami tidak menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami mohon ampun dari sesuatu yang kami tidak mengetahuinya
Berikut ini dipetik daripada sebuah forum dari lelaman:
1. Apakah tawasul dengan amalan baik kita dapat mengurangi atau bahkanmenghilangkan pahala amalan tersebut?
2. Saya sering atau mungkin sangat sering bertawasul dengan amalan ibadah,contoh, bila ingin kesembuhan baik itu diri ataupun keluarga yang sedangsakit, kadang saya berniat melakukan ibadah sunah dengan harapan diberikankesembuhan, apakah hal ini boleh ?
terimakasih atas jawabannya ..
wassalammualaikum
========
Wa'alaykumussalaam warahmatullah,Pertanyaan antum yang pertama ini juga pernah ditanyakan kepada ustadz Yaziddalam bedah buku Ar-Rasail jilid 2 bab Ikhlas di JIC ahad kemarin. Jawabanbeliau adalah tawasul dengan amalan-amalan baik yang pernah dilakukan tidakmengurangi amalan itu sendiri. Dalam tawasul tersebut kita mengadukanseluruh keadaan amalan kita kepada Allahu sami'ul'alim, dan Allah lah yangmaha mengetahui dengan pasti timbangan amalan kita itu seperti apa.Melakukan ibadah dengan niat salain karena Allah adalah Riya, dan riya initermasuk dalam syirik kecil dimana konsukuensinya adalah gugurnya amalanibadah tersebut (--adapun syirik besar maka konsukuensinya adalah gugurnyaseluruh amalan yang pernah dilakukan). Hendaknya kita ikhlaskan seluruhamalan kita hanya untuk mencari ridha Allah subhanawata'ala. Amalan yangikhlas ini bisa menjadi penyebab seorang hamba ditolong oleh Allah azzawajalla. Kalau diperhatikan kisah 3 orang yang terkurung dalam goa kemudianmereka terbebas dengan bertawasul kepada Allah melalui perbuatan baikmereka, tentunya amalan yang pernah mereka perbuat tersebut dilakukan atasdasar ikhlas, dan tentunya sewaktu mereka melakukan amalan tersebut tidakdisertai dengan embel-embel tertentu (supaya ini dan itu).Dalam kesempatan bedah buku tersebut, ustad Yazid mengatakan (kuranglebihnya) "Ada diantara ikhwan kita, ada yang tadinya tidak pernah melakukanamalan-amalan ibadah seperti sholat malam, puasa sunnah atau lainnya, tapikarena mau ujian dia melakukan amalan tersebut agar ujiannya lulus. Niatseperti ini tidak boleh."Untuk lebih jelasnya antum bisa baca buku beliau Ar-Rasail jilid 2, tentangIkhlas.
Wallahu'alam bishawab.Barakallahufik.

Labels: ,




Tuesday, April 28, 2009 @ 12:29 AM
Good Vs Evil


Tazkiyatun Nafs: Purity of the inner self and personality. Every human being has some good and some evil in varying proportions, which is exhibited as Nafs meaning self or personality. Developing the personality is a difficult and time-consuming long-term exercise. It does not have a quick-fix solution such as reciting some extra prayers or supplicating a given number of times or visiting a priest, a grave of a saint or any other form of escapism. It needs constant effort and correction of mistakes, to be undertaken as a serious spiritual project while persistently seeking Allah’s assistance. Such an effort may take months or years. During all this time, we must examine ourselves and strive to pick and discard the undesirable traits and improve on whatever good qualities we have, while bearing God’s presence and pleasure in mind. This is the only way we enhance our personality and gain plus marks in our spiritual ledger for the Hereafter. The progress of human self takes place through the development of divine attributes in the inner self, leading towards perfection.Allah created good and evil both and designated particular actions as virtuous or as evil. Then He left it to us to choose freely and do whatever we wanted. A good act can enhance the personality while an evil one would diminish our spiritual status. By not following in Satan’s footsteps which so courteously escort us to indecencies and shame (Q.24:21), the person or self (Nafs) gets purified (Q.91:7-10). Glorification of Allah’s name combined with prayer aids in purification of the self and leads to prosperity (Q.87:14-15). Allah grants mercy, compassion and purification to those of us who are kind to parents and not rebellious. He also showers peace all the way in this life, then through death via Barzakh, and finally into eternity of the Hereafter (Q.19:13-15). Disbursing the Zakāh also purifies the self, besides purifying the balance of the wealth (Q.92:18). Wearing the Ihrām after bathing during Hajj confers a state of ritual purity to the person. Whoever purifies himself does so for his own benefit (Q.35:18) and for his own spiritual advancement and prosperity (Q.87:14). But, however much we try to sanctify ourselves, in the final analysis, it is Allah Who purifies whom He pleases (Q.4:49).Allah showers His mercy on us after adversities have touched us (Q.10:21). Various ailments which we are afflicted with are not a calamity but a mercy from Allah. Man develops immunity by suffering many infectious diseases. We have developed antibodies to many viruses because we have suffered from diseases caused by them. When we undergo hardships and misfortunes, the Nafs (person) gets purified. Illness for a believer is like a detergent for the human Nafs. It purifies the Nafs from the burden of sins so that it can eventually qualify to reflect in whatever little way Asmā al-Ḥusnā: the beautiful Attributes of Almighty Allah.Most people have a feeling of inner peace and satisfaction with themselves and with their Creator when they are actively involved in relieving the miseries of the poor and the under-privileged, be it through distribution of money or any other form of Sadaqah such as proper advice, guidance and assistance in any form whatsoever. Righteous deeds such as giving charity and other Sadaqas meant to relieve distress from fellow-human beings confer peace and tranquillity to the donor. This inner peace and purity of the donor is paralleled by peace with the Creator, possibly due to the neural connections in the spiritual pathways of the brain, which secrete encephalins, endorphins, serotonin and other neurotransmitters, responsible for the peace, tranquillity, well-being and satisfaction. A continuous flow of encephalins and endorphins in the body requires a continuous state of Taqwā or God-consciousness in life. If such a state of inner peace and bilateral satisfaction between man and Allah continues till the time of death, then it fulfils the main objective in the Du‘a: Wakhtim Biṣ Ṣāliḥāti A‘mālina. “Oh Allah, seal with righteousness our deeds”. It is postulated that this tranquil state may accompany the person through Barzakh into the Hereafter when he appears before his Mālik on the Day of Judgment. The angels tell those whose lives they take in a state of purity; “Salāmun ‘Alaikum! Enter Jannah, because of the good you did” (Q. 16:32).The word “Jihad” is derived either from the Arabic word “Jahd”, meaning exhaustion or the word “Juhd” which means striving. A Mujahid is one who strives in the Cause of Allah and strives his best even to the point of exhaustion. Jihād is an effort to establish a world order where all human beings can live in peace and harmony. Man is constantly fighting a duel in his mind, swinging like a pendulum between the dual areas of good and evil. His striving to improve the self is called the inner jihād, which aims at the ideal in achieving good and overcoming evil. The broader meaning of Jihād may involve doing one’s very best in Allah’s cause. It includes several things such as sacrifice of wealth and talent, suppression of greed, carnal and other desires, fighting for defence of religion and all current evil forces, assisting the oppressed against the oppressor etc. Those who die while engaged in Jihad are considered martyrs. Their bodies need not be washed as they are considered to have died in ceremonial purity.

http://www.imamreza.net/eng/imamreza.php?id=6215

Labels:




Saturday, April 25, 2009 @ 3:03 AM
Islam: Akademi Cinta dan kasih-Sayang

Saudaraku,

Siapapun pasti ingin dicintai dan mencintai. Siapapun pasti merindukan dapat mereguk sebuah cinta indah yang langgeng abadi dan menyejukkan dalam arti sebenarnya. Namun kerinduan untuk mendapatkan dan memberikan perhatian dalam sebuah wadah cinta seringkali salah arah. Kita rindu dengan sebuah keteladanan, namun terkadang kita salah dalam mengambil sosok untuk dijadikan sebagai teladan.

Lihatlah saat ini. Sebagian besar dari kita lebih mengidolakan sosok-sosok yang bukan semakin mendekatkan diri kita dengan kecintaan dan keridhoan Tuhan. Secara sadar atau tidak, sosok-sosok yang diidolakan itu malah semakin menjauhkan diri kita untuk semakin mencintai-Nya, mengenal-Nya dan meneladani utusan-Nya, Rasulullah SAW.

Tidak sadarkah kita, kaum muslimin khususnya, bahwa Rasulullah SAW merupakan Sang Pemimpin pembawa cinta sedunia sepanjang zaman? Diutus oleh Allah SWT untuk membawa cinta bagi seluruh alam, sebagaimana dinyatakan dalam al qur’an, “Sungguh, Ku utus engkau (wahai Muhammad) sebagai cinta kasih sayang untuk semesta alam” (QS. Al Anbiya’:107).

Sungguh, beliaulah Pemimpin akademi cinta yang tak tergantikan sepanjang zaman. Beliaulah idola sejati. Seluruh ajaran yang beliau bawa [Islam] adalah cinta. Lewat Rasulullah lah kita diajarkan mencintai Allah SWT. Lewat Rasulullah lah kita diajarkan cinta kepada seluruh makhluk, tanpa terkecuali. Ajaran islamlah yang mengatur cinta kasih kepada musuh, teman, pada semua yang dikenal maupun tidak dikenal.

Lihatlah bagaimana sapaan cinta dalam islam terhadap sesama saudara seiman, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” (Salam sejahtera untuk kalian dan cinta kasih Allah dan keberkahan-Nya). Bukankah itu merupakan ungkapan cinta? Bukankah ini ajaran cinta yang sangat luhur? Tidakkah kita melihat, bahwa Islam sesungguhnya merupakan samudera cinta? Semakin kita menyelam ke dalamnya maka semakin terendamlah kita dalam air kasih sayang dan cinta. Tidakkah kita melihat bagaimana kita diajarkan untuk saling menjaga keselamatan dan kehormatan satu sama lain? Selamat dari keburukan lidah dan tangan kita.

Saudaraku,

Kita semua pasti haus akan hidayah dan petunjuk. Kita semua pasti membutuhkan kekuatan yang hakiki, yang tidak lain bersumber dari Yang Maha Agung, Allah SWT. Tiada daya upaya dan kekuatan selain atas izin Allah SWT. Lewat ajaran yang dibawa Rasulullah lah semua itu akan kita peroleh.Layaknya beberapa orang yang kehausan yang menyadari bahwa air merupakan obat tunggal dari kehausan, maka mereka pasti membutuhkan air sebagai pelepas dahaganya agar tidak mati kehausan. Saat mereka mendapati danau yang bening, maka semestinya yang dilakukan adalah mengambil airnya lalu meminumnya, bukan memperdebatkan tentang zat cair tersebut dengan masing-masing pendapatnya sehingga mereka akhirnya mati kehausan. Begitulah semestinya kita memahami.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua, membuka dan melembutkan hati-hati kita, serta memberikan kita kekuatan dan kesempatan untuk terus belajar dan memahami tentang nilai-nilai indah dan mutiara yang terdapat pada islam itu sendiri.

Wallahu a’lam.

(Tulisan Tanggapan tentang “Akademi Cinta” dari Seorang Guru dengan Sedikit Tambahan dan Gubahan)
Dipetik daripada zidaburika.wordpress.com

Labels:




Tuesday, April 14, 2009 @ 9:21 PM
Menempuh Jalan dan Mengenal Diri



Bersuluk, artinya ‘menempuh jalan’. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali kepada Allah’, yaitu ‘jalan taubat’ (ingat asal kata ‘taubat’ adalah ‘taaba’, artinya ‘kembali’), atau jalan ad-diin.

‘Suluk’ secara harfiah berarti ‘menempuh’, (Sin - Lam - Kaf) asalnya dari Q.S. An-Nahl [16] : 69,




“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).”

(Q. S. An-Nahl [16] : 69)


‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi jasadiyah dan keduniawian, dibawah bimbingan seorang mursyid sejati (yang telah meraih pengenalan akan diri sejatinya dan Rabb-nya, dan telah diangkat oleh Allah sebagai seorang mursyid bagi para pencari-Nya), untuk mengendalikan hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama, hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk beragama dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha memahami. Orang yang memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik (bermakna ‘pejalan’).

Ber-suluk –bukan– mengasingkan diri. Ber-suluk adalah menjalankan agama sebagaimana awal mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya, ‘Iman’ - ‘Islam’ - ‘Ihsan’ (tauhid - fiqh - tasawuf) sekaligus, sebagai satu kesatuan diin Al-Islam yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bersuluk adalah ber-thariqah, walaupun tidak selalu demikian.


Yang dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalb nya kepada Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun, sambil melaksanakan syari’at Islam sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw. Amalannya adalah ibadah wajib dan sunnah sebaik-baiknya, dalam konteks sebaik-baiknya secara lahiriah maupun secara batiniah. Selain itu ada pula amalan-amalan sunnah tambahan, bergantung pada apa yang paling sesuai bagi diri seorang salik untuk mengendalikan sifat jasadiyah dirinya, mengobati jiwanya, membersihkan qalbnya, dan untuk lebih mendekat kepada Allah.

“Tidak ada cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan (sunnah) nawafil, sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia keras memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, sungguh, akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.”

(Hadits Qudsi riwayat Bukhari).


Dasar segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula amalan-amalan dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat (bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.

Dimana? Dimana pun, kapan pun. Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak. Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an, ingin hidup tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat. Sebagian orang ingin memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil beragama.

Jadi, bersuluk kurang lebih adalah ber-Islam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir maupun batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri (ber-Islam), mengetahui makna ‘berserah diri kepada Allah’ (bukan ‘pasrah’), dalam rangka berusaha mengetahui fungsi spesifik dirinya bagi Allah, untuk apa ia diciptakan-Nya.


Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.







“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.”

(Q. S. An-Nuur [24] : 41)


Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.”

(H. R. Bukhari no. 2026).


Juga,

“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”

(H. R. Bukhari no. 1777).

Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”

Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”





“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.”


(Q. S. Al-Qamar [54] : 49)

Kita, karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan ‘tidak kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product, karya generik. Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made orang-per-orang, dengan segala kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.

Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’ keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.

Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.

“Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”

Tentu saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb, karena pengetahuan tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan dikira-kira oleh kita sendiri. Turunnya pengetahuan sejati (’ilm) tentang ini bukan kepada jasad maupun kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita yang sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs) kitalah tersimpan pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;








“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani Adam, dari punggung mereka, keturunan-keturunan mereka, dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa (nafs-nafs; anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi’….”

(Q. S. [7] : 172)



Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina Ma’rifatullah.”

“Awal Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r. a.)

Demikianlah pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia menciptakan kita.

Demikian pula, status ‘Abdullah’ (’abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’ (hamba Kami) adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi sesuai dengan yang sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’ adalah sebuah status yang tinggi.

Sekarang, insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”





“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah mengabdi/menghamba (ya’bud) kepada-Ku.”

(Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)

Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,






“Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon pertolongan.”

(Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)

Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.


Dipetik daripada http://suluk.blogsome.com






Labels:




Monday, April 6, 2009 @ 4:23 PM
Doa dan Wirid Untuk Pelajar/ Doa and Wirid for students

doa dan wirid untuk pelajar doa dan wirid untuk pelajar jamaluddin arabi

Labels:




Saturday, April 4, 2009 @ 3:42 PM
Erti tawadhuk


Petikan dari buku ‘ Ketika Cinta Bertasbih’- karya Habiburrahman El Shirazy


“Kali ini kita hayati bersama kalimah Ibnu Athailah yang berbunyi: Laisa al-Muthawadhi’u al-laziiza tawadha’a ra’a annahu fauqa ma shana’… yang bererti bukanlah orang yang tawadhuk atau merendahkan diri, seorang yang jika merendah diri berasakan dirinya di atas yang dilakukannya

Misalan yang mudah, katakan dalam suatu majlis ada seseorang berasa tawadhuk dengan duduk di belakang. Tetapi dalam masa yang sama dia berasa yang sesuai bagi dirinya ialah di atas, iaitu duduk di bahagian hadapan majlis. Maka orang seperti ini bukanlah orang yang merendah diri melainkan orang yang sombong.

Lalu, bagaimanakah orang yang benar-benar tawadhuk itu? Orang yang benar-benar merendahkan dirinya itu bagaimana sebenarnya?

Ibnu Athailah mengatakan di baris berikutnya: Wa Lakin al- mutawadhi’ iza tawadha’a ra-a annahu duna ma shana’a. Ertinya, tetapi orang yang benar-benar merendahkan diri dia berasa berada di bawah sesuatu yang dilakukannya. Misalnya, katakan dalam suatu majlis ada orangdipaksakan duduk di bahagian yang agak depan. Kerana dipaksa atau terpaksa, dia pun duduk di situ. Dalam masa yang sama dia berasa dirinya sepatutnya berada di belakang. Ini dia orang yang merendah diri.

Misalannya lagi, katakan dalam sesebuah masyarakat itu ada seseorang yang dimuliakan dan dihormati ramai orang, namun dia selalu berasa dirinya belum layak bahkan tidak layak menerima penghormatan seperti itu. Inilah orang yang tawadhuk.

Jemaah yang dimuliakan. Tawadhuk adalah sifat orang-orang yang mulia. Tawadhuk adalah sifat para nabi dan rasul. Yang berlawanan dengan tawadhuk ialah takbur, sombong, dan seumpamanya. Ulamak bersepakat bahawa takbur itu haram dalam Islam.

Sombong adalah sifat yang dimiliki oleh Allah. Hanya Dia. Dia yang lebih berhak memiliki sifat ini. Tidak boleh ada satu pun makhluk yang menyaingi-Nya., dalam hal ini. Siapa yang menyaingi Allah dan berasa berhak memiliki sifat takbur ini, bermakna dia berhak menjadi Tuhan manusia. Orang seperti ini pasti dimurkai Allah. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, ’Sombong adalah selendang-Ku, dan agung adalah pakaian-Ku. Siapa yang menyaingi-Ku dalam salah satu dari kedua-duanya maka akan-Ku lemparkan ke dalam Neraka Jahannam.’ ( Hadis Riwayat Ibnu Majah, Ahmad dan Muslim)

Kerana rasa sayang dan cinta, Allah memerintahkan Rasulullah s.a.w untuk tawadhuk. Lalu, dengan sebab rasa sayang dan cinta juga Rasulullah s.a.w bersabda,’Sesungguhnya Allah swt. Memerintahkan aku agar tawadhuk. Jangan sampai ada salah seorang menyombongkan diri pada orang lain. Jangan sampai ada yang bongkak pada orang lain. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Majah dan Abu Daud)

Rasullulah s.a.w adalah teladan terbaik bagi orang yang berakhlak mulia. Baginda s.a.w adalah makhluk Allah yang paling mulia dan juga orang yang paling tawadhuk dalam sejarah umat manusia. Sejak muda Rasullulah s.a.w selalu merendahkan diri.

Contoh yang menggetarkan jiwa kita, tentang baginda Rasullulah s.a.w menjadi penggembala kambing. Dengan menggembala kambing bukan saja baginda telah merendahkan diri pada manusia bahkan juga pada binatang. Baginda tidak berasa canggung hidup di tengahkambing yang berbau busuk dan kotor itu. Baginda menjaga dan melayani kambing-kambing itu dengan penuh kasih-sayang. Jika ada kambing yang beranak, baginda membantu dan merawatnya. Tidak ada jurang antara baginda dengan kambing yang digembalanya itu. Rasullulah s.a.w tawadhuk bukan saja terhadap manusia juga pada binatang ternakannya itu.

Contoh lain darisifat tawadhuk Rasullulah s.a.w itu ialah baginda sanggup makan makanan yang jatuh ke tanah. Dalam Sirah Nabawiyah kita akan dapati pada setiap kali ada makanan jatuh ke tanah, pasti baginda memungutnya lalu dibersihkan. Baginda membuang kekotoran yangada, lalu makanan yang sudah bersih itu dimakannya. Baginda tidak berasa hina atau segan dan sebagainya.

(Ketika Cinta Bertasbih : 298-303)

Labels:




Saturday, March 14, 2009 @ 9:37 PM
khusyuk dalam berorganisasi

Bismillahirrahmanirrahim.
Allahumm shalli 'ala rasulil karim, Muhammad saw wa 'ala alihi wa sahbihi ajma'in rahiyaAllahu 'anhum.


Rumusan
Rahsia yang tersirat dalam khusyuk kini tersingkap sudah. Khusyuk merupakan nilai pelengkap kepada solat yang perlu berlaku di hati, lisan dan tindakan.

Khusyuk
Hati: Hati tetap, Pemusatan, Takut.
Lisan: Senyap, Cakap benar, Berbahasa.
Tindakan: Tumpuan, Tunduk, Sopan.

Khusyuk Melalui Hati

Organisasi khusyuk sentiasa tetap hatinya. Kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang yang melencongkan banyak organisasi lain tidak sedikit pun menggugat khusyuk daripada landasannya. Seluruh perhatian dipusatkan untuk menuju sasarannya. Hatinya sentiasa takut kepada Allah swt yang Maha Esa dan sentiasa memberi keberanian untuknya melepasi segala ujian.

Khusyuk Melalui Lisan

Wataknya yang senyap, sentiasa bercakap benar dan pandai berbahasa menjadikan organisasi khusyuk dipercayai. Dalam dunia yang tercemar oleh sampah maklumat, kehadirannya menyegar dan menyenangkan masyarakat.

Khusyuk Melalui Tindakan

Tumpuan yang dibuat atas sifatnya yang tunduk dan sopan amat mengelirukan. Banyak musuh tersalah baca sifat ini sebagai kelemahan. Akan tetapi, kehebatannya adalah kerana menjadi halimunan. Tanggapan negatif yang kita pegang hingga kini adalah kerana kita gagal memerhatikan belakang syiling yang ada di tangan.

Khusyuk

Mutiara yang tersembunyi ini sangatlah hebat sifatnya. Selama ini kita gagal nampak pada khusyuk sebagai nilai kebal kerana sifat halimunannya. Khazanah ini digai kerana ramai rakan kita telah tumbang, parah dan cedera selepas kegawatan ekonomi. Sebahagian daripada mereka akan terus hidup, tetapi akan kekal cacat. Mereka kini bagai pahlawan cedera yang perlu untuk sembuh kembali.

Ayuh Syabab!

Masyarakat hanya mahu turut berbangga. Mereka hendak menumpang seronok melihat wira kita berpencak tangkas dan lincah di tengah gelanggang. Mereka hanya minta peluang untuk senyum. Mereka hanya mahu wajah yang terconteng berseri kembali.

Senjata silam yang lama tertimbus ini digilap kembali dan dipersembahkan kepada pengurus organisasi. Merekalah yang menjadi harapan bangsa sebagai pahlawan muda untuk bingkas bangsa berjuang menggembalikan citra bangsa. Biarlah bangsa selembut batang pisang ini dicantas kerana mereka pasti akan tumbuh semula. Pahlawan muda bangunlah, untuk membasuh citra bangsa ynag tercalit ini. Kini giliran kamu berbekal senjata khusyuk untuk berpencak sebagai pendekar pada abad kedua puluh satu ini.

Senyap

Organisasi khusyuk perlu berusaha mengurangkan isi pada suara, mengadakan prosedur bertulis, mahir berunding dan patuh kepada keputusan yang telah dicapai untuk mengurangkan suasana bising dan mendapat suasana yang senyap.

Senyap sekali imbas tidaklah segagah dengan publisiti meluas dan hebat. Akan tetapi, organisasi memerlukan suasana senyap ternyata lebih tenang dan produktif dalam menolong organisasi ke arah kecermelangan.

Berjimat Dengan Perkataan

Organisasi khusyuk bersifat penelian dan sangat berjimat dengan perkataan kerana lebih mengutamakan tindakan daripada bercakap sahaja. Lebih banyak rasa ditumpukan untuk menyempurnakan amanah yang dipegang. Mereka bercakap sekadar perlu dan tidak memanjangkan kisah sejengkal menjadi sedepa. Ini menjadikan organisasi tersebut sumber maklumat yang berfaedah.

Sumber
Khusyuk: daripada Perspektif Pengurusan Organisasi
Pengarang: M.Z. Azmit

Nukilan di atas hanya merupakan sedikit isi yang diambil daripada buku yang tertera di atas. Disarankan untuk membaca serta memahami seluruh buku secara baik. Semoga memberikan manfaat.

Ya Allah, kami mohon ampunanMu. Tetapkanlah kedudukan kami. Jika berorganisasi lebih mendekatkan diri ini pada redhaMu, maka tunjukkanlah. Jika tidak, maka palingkanlah. Tidak kami mengerti akan diri kami sendiri, ya 'Alim.

Sungguh, kami menzalimi diri kami sendiri.

Surah Al-Isra', ayat 80
Dan katakanlah (Muhammad): "Ya Rabb, masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan aku dengan tempat keluar yang benar, dan jadikanlah bagiku daripada sisi kerjaanMu pertolongan"

Amin.

Sungguh, kami menzalimi diri kami ini. Mohon ampunanMu Ya Ghaffur. Ya Rahman. Ya Rahim.

Labels:




Friday, February 13, 2009 @ 2:51 PM
Don't We All

DON'T WE ALL


I was parked in front of the mall wiping off my car. I had just come
from the car wash and was waiting for my wife to get out of work.
Coming my way from across the parking lot was what society would
consider a bum.
From the looks of him, he had no car, no home, no clean clothes, and no
money. There are times when you feel generous but there are other times
that you just don't want to be bothered. This was one of those "don't
want to be bothered times."
"I hope he doesn't ask me for any money," I thought.
He didn't.
He came and sat on the curb in front of the bus stop but he didn't look
like he could have enough money to even ride the bus.
After a few minutes he spoke.
"That's a very pretty car," he said.
He was ragged but he had an air of dignity around him. His scraggly
blond beard keep more than his face warm.
I said, "thanks," and continued wiping off my car.


He sat there quietly as I worked. The expected plea for money never
came.
As the silence between us widened something inside said, "ask him if
he needs any help." I was sure that he would say "yes" but I held true
to the inner voice.
"Do you need any help?" I asked.
He answered in three simple but profound words that I shall never forget.
We often look for wisdom in great men and women. We expect it from
those of higher learning and accomplishments.

I expected nothing but an
outstretched grimy hand. He spoke the three words that shook me.
"Don't we all?" he said.

I was feeling high and mighty, successful and important, above a bum
in the street, until those three words hit me like a twelve gauge
shotgun.
Don't we all?
I needed help. Maybe not for bus fare or a place to sleep, but I
needed help. I reached in my wallet and gave him not only enough for bus
fare, but enough to get a warm meal and shelter for the day. Those
three little words still ring true. No matter how much you have, no matter
how much you have accomplished, you need help too. No matter how little you
have, no matter how loaded you are with problems, even without money or
a place to sleep, you can give help.

Even if it's just a compliment, you can give that.
You never know when you may see someone that appears to have it all.
They are waiting on you to give them what they don't have. A different
perspective on life, a glimpse at something beautiful, a respite from
daily chaos, that only you through a torn world can see.

Allah made it but a message of hope for you; and an assurance to yor hearts: (in a ny case) there is no help except from Allah, the Exalted, the Wise

3:126

Jaridah/Issue Feb/2009/Biro Penerbitan dan Publisiti


Labels: